Senin, 01 April 2013

Islam dan Pendidikan Karakter



A.   Mengenal Pendidikan Karakter
Menurut Nur Salam Sirajuddin, istilah karakter baru dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan pada akhir abad ke-18. Pencetusnya adalah F.W. Foerster. Terminology ini mengacu pada sebuah pendekatan idealis – spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Lahirnya pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal – spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh Filsuf Prancis, Auguste Comte.
Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Pengetahuan tanpa landasan pribadi yang benar akan menyesatkan, dan ketrampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter itu akan membentuk motivasi yang dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat.
Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai – nilai etika, serta meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral.1
Menurut Doni Koesoema Albertus, karakter diasosiasikan dengan tempramen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur sikosial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Karakter juga dipahami dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somato – psikis yang dimiliki oleh individu sejak lahir. Disini karakter dianggap sebagai cirri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang, yang bersumber dari bentukan – bentukan yang diterima dari lingkungannya. Misalnya pengaruh keluarga pada masa kecil dan bawaan seseorang sejak lahir.2


 
1metronews.fajar.co.id
2Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta : Grasindo, 2010), hlm.79-80. Sjarkawi, Pembentukan Keribadian Anak; Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai wujud integritas membangun jati diri (Jakarta : Bumi Aksara, 20060, hlm.11.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan setiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Lebih lanjut, pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh guru untuk mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu dalam membentuk watak peserta didik dengan cara memberikan keteladanan, cara berbicaraatau menyampaikan materi yang baik, toleransi, dan berbagai hal yang terkait lainnya.
Penyelenggara pendidikan karakter di sekolah harus berpijak pada nilai – nilai karakter dasar manusia. Selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau tinggi (yang bersifat tidak absolute/relatif) sesuai dengan kebutuhan atau kondisi da lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak yang menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian masal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada tahap yang meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan perannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Berdasarkan pembahasan tersbut dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesame manusia, lingkungan, dan kebangsaan. Kemudian nilai-nilai tersebut terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hokum, tata karma, budaya, dan adat istiadat.3



 
3Akhmadsudrajat.wordpress.com, yang diakses pada 5 Juni 2011


B.   Pentingnya Pendidikan Karakter
Karakter yang kuat akan membentuk mental yang kuat. Sedangkan mental yang kuat akan melahirkan spirit yang kuat, pantang menyerah, berani mengurangi proses panjang, serta menerjang arus badai yang bergelombang dan berbahaya. Karakter yang kuat merupakan prasarat untuk menjadi seorang pemenang dalam medan kompetisi kuat seperti saat ini dan yang akan datang, yang terkenal dengan era hiperkompetitif. Bagi seseorang yang berkarakter lemah tidak aka nada peluang untuk menjadi pemenang, ia hanya akan menjadi pecundang, sampah masyarakat, teralienasi, dan termarginalkan dalam proses kompetisi yang ketat. Sebab ia mudah menyerah, tidak mempunyai prinsip, pragmatis, dan oportunis, serta tidak mempunyai keberanian untuk menerjang gelombang ombak dan badai yang dasyat. Ia penakut, langkahnya ceroboh, dan pergerakannya mudah dibaca olehorang lain. Oleh sebab itu pendidikan karakter menjadi keniscayaan bagi bangsa ini untuk membangun mental pemenang bagi generasi bangsa dan masa yang akan datang.
Martin E.P. Seligman dalam Larned Optimism, menunjukan hasil eksperimen mengenai pengaruh optimism terhadap keberhasilan seseorang dalam sebuah pekerjaan. Eksperimen tersebut bahkan membuktikan bahwa orang-orang yang optimis namun pada tahap seleksi tidak memenuhi persyaratan lulus dari segi profil kompetensi untuk pekerjaanya (career profil) kinerjanya lebih tinggi dibanding mereka yang memiliki kompetensi tinggi namun tidak optimis. Sifat optimis merupakan bagian dari karakter seseorang.4
Disinilah pentingnya karakter yang kuat itu. Jika karakter bangsa ini lemah, maka bangsa Indonesia dijadikan bulan-bulanan Negara-negara maju yang melek pengetahuan dan teknologi. Namun membuat terobosan progresif dan melakukan akselerasi massif di segala bidang. Negara ini akan semakin tertindas di dalam dan di luar negri, menjadi buruh di Negara sendiri, yang akhirnya dijajah sumber daya alam dan manusianya secara eksploitatif dan tidak manusiawi.


4Gede Raka dkk, Pendidikan Karakter di Sekolah, dari Gagasan ke Tindakan (Jakarta ; Elex Media Komputindo, 2002), hlm. 26 – 27.
Dengan melihat kenyataan itulah pendidikan karakter sangat mendesak untuk diberlakukan di negeri ini. Caranya adalah dengan mengoptimalkan peran sekolah sebagai pionir. Pihak sekolah harus bekrja sama dengan keluarga, masyarakat, dan elemen bangsa yang lain demi suksesnya agenda besar menanamkan karakter kuat pada peserta didik sebagai calon pemimpin bangsa dimasa yang akan datang.

C.   Tahap – Tahap Pendidikan Karakter

1.      Tahap Penanaman Adab (Umur 5 – 6 tahun)
Adap atau tatakrama bisa dilihat dari tata cara seseorang dalam bertutur sapa, berinteraksi, bersikap dan bersosialisasi. Saat inilah fase paling penting menanamkan kejujuran, pendidikan keimanan (tauhid), serta menghormati orang tua, teman sebaya, dan orang-orang yang lebih tua. Pada tahap ini pula anak didik diajarkan tentang pentingnya proses, baik dalam belajar maupun mendapat sesuatu. Sehingga mereka tidak lahir sebagai anak manja yang sangat berbahaya bagi masa depan mereka.
Pendidikan agama dalam fase ini sangat menentukan pertumbuhannya di masa depan. Pendidikan agama bisa menjadi parameter dan filter dalam merespon segala hal yang baru datang. Pendidikan agama juga menjadi pijakan dalam menentukan pilihan dan membangun peradaban.5

2.      Tahap penanaman tanggung jawab (umur 7 – 8 tahun)
Tanggung jawab merupakan perwujudan dari niat dan tekad untuk melakukan tugas yang diemban.
Tanggung jawab, menurut Arvan Pradiansyah, merupakan kata kunci dalam meraih kesuksesan. Seorang yang mempunyai tanggung jawab akan mengeluarkan segala kemampuan terbaiknya untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.6




 
5Banyak kitab yang menjelaskan pentingnya moral ini, salah satunya adalah karya Az-Zarnuji, Ta’limul Muta’alim (Surabaya : Al Hidayah, tanpa tahun). Juga, kitab karya Moh. Hasyim Asy’ari, Adab Al – Alim wal muta’alim (Jombang – Al – Ma’had as-Salafi Tebuireng, tanpa tahun)
6Arvan Pradiansyah, You Are A Leader; Menjadi Pemimpin dengan Memanfaatkan Potensi Terbesar yang Anda Miliki (Bandung : Kaifa, 2010), hlm. Xxi.
3.      Tahap penanaman kepedulian (umur 9-10 tahun)
Kepedulian adalah empati kepada orang lain yang diwujudkan dalam bentuk memberikan pertolongan sesuai dengan kemampuan.
Kepedulian ini sangat penting dalam rangka menumbuhkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan, serta menjauhkan diri dari sifat sombong, egois dan individual.
Menurut Sholikhin Abu Izzuddin, empati merupakan kemampuan dalam memahami, melayani dan mengembangkan orang lain, serta mengatasi keragaman dan kesadaran politis. Empati bukan sekedar simpati, empati merupakan aksi, bukan hanya belas kasihan. Empati butuh bukti, bukan bualan pemanis komunikasi.7

4.      Tahap penanaman kemandirian (umur 11 – 12 tahun)
Dalam kemandirian ada nilai kehormatan dan harga diri yang tidak bisa dinilai dengan sesuatu apapun. Sebab apabila harga diri dan kehormatan seseorang tidak ada, maka habislah dia. Menumbuhkan kemandirian pada anak didik bisa dilakukan dengan melatih mereka bekerja dan menghargai waktu.
Dalam kemandirian inilah terdapat nilai agung yang menjadi pangkal kesuksesan seseorang. Seperti kegigihan dalam berproses, semangat tinggi, pantang menyerah, kreatif, inovatif, dan produktif, serta keberanian dalam menghadapi tantangan, optimis, dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi.7

5.      Tahap penanaman pentingnya bermasyarakat (umur 13 tahun ke atas)
Dalam konteks pendidikan karakter, pola hidup masyarakat membutuhkan banyak tips sukses. Salah satunya, anak harus diajari bergaul dan berteman dengan anak-anak yang mempunyai karakter baik, seperti disiplin, menghargai waktu, kreatif, moralis, investasi, dan mencintai pengetahuan.







 
7Bandingkan dengan Jamal Ma’mur, Sekolah Entrepreneur; Mendesain, Menerapkan, dan Memproduk Insan-Insan Edukatif Bermental Pecinta Kerja. Bukan Pencari Lapangan Kerja (Yogyakarta, Harmoni, 2011)
Sholikhin Abu Izzuddin, ketrampilan sosial merupakan asset sukses kepemimpinan dan mempengaruhi orang lain (kemampuan menebar pengaruh, berkomunikasi, memimpin, karalisator, perubahan mengelola knflik, mendaya gunakan jaringan, kolaborasi dan kooperasi, serta kerja tim).8

Lima tahap pendidikan karakter ini menjadi pondasi kokoh dalam menggali, melahirkan, mengasah, serta mengembangkan bakat dan kemampuan unik anak didik. Hal ini menjadi penting untuk menghadapi tantangan globalisasi yang dasyat dan spektakuler sekarang ini.

D.   Prinsip – Prinsip Pendidikan Karakter

1.      Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
2.      Memberikan kesempatan pada peserta didik untuk menunjukan perilaku yang baik.
3.      Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter.
4.      Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada peserta didik.
5.      Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter.
6.      Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.
7.      Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik.9
8.      Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang bertanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama.




 
8Solikhin Abu Izzuddin, op. cit, hlm 54.
9Ibid