A. Mengenal Pendidikan Karakter
Menurut Nur Salam Sirajuddin, istilah karakter baru
dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan pada akhir abad ke-18.
Pencetusnya adalah F.W. Foerster. Terminology ini mengacu pada sebuah
pendekatan idealis – spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori
pendidikan normatif. Lahirnya pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk
menghidupkan kembali pedagogi ideal – spiritual yang sempat hilang diterjang
gelombang positivisme yang dipelopori oleh Filsuf Prancis, Auguste Comte.
Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan
ketrampilan. Pengetahuan tanpa landasan pribadi yang benar akan menyesatkan,
dan ketrampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter itu akan
membentuk motivasi yang dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat.
Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian,
dan tindakan berdasarkan nilai – nilai etika, serta meliputi aspek kognitif,
emosional, dan perilaku dari kehidupan moral.1
Menurut Doni Koesoema Albertus, karakter
diasosiasikan dengan tempramen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan
unsur sikosial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan.
Karakter juga dipahami dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur
somato – psikis yang dimiliki oleh individu sejak lahir. Disini karakter
dianggap sebagai cirri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri
seseorang, yang bersumber dari bentukan – bentukan yang diterima dari
lingkungannya. Misalnya pengaruh keluarga pada masa kecil dan bawaan seseorang
sejak lahir.2
1metronews.fajar.co.id
2Doni
Koesoema A., Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global
(Jakarta : Grasindo, 2010), hlm.79-80. Sjarkawi, Pembentukan Keribadian Anak;
Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai wujud integritas
membangun jati diri (Jakarta : Bumi Aksara, 20060, hlm.11.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang
bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan setiap akibat dari
keputusan yang ia buat.
Lebih lanjut, pendidikan karakter adalah segala
sesuatu yang dilakukan oleh guru untuk mempengaruhi karakter peserta didik.
Guru membantu dalam membentuk watak peserta didik dengan cara memberikan
keteladanan, cara berbicaraatau menyampaikan materi yang baik, toleransi, dan
berbagai hal yang terkait lainnya.
Penyelenggara pendidikan karakter di sekolah harus
berpijak pada nilai – nilai karakter dasar manusia. Selanjutnya dikembangkan
menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau tinggi (yang bersifat tidak
absolute/relatif) sesuai dengan kebutuhan atau kondisi da lingkungan sekolah
itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak yang menuntut peningkatan
intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan
formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang,
yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian masal
dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu,
gejala tersebut telah sampai pada tahap yang meresahkan. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda
diharapkan dapat meningkatkan perannya dalam pembentukan kepribadian peserta
didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Berdasarkan pembahasan tersbut dapat ditegaskan
bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan
secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesame
manusia, lingkungan, dan kebangsaan. Kemudian nilai-nilai tersebut terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hokum, tata karma, budaya, dan adat istiadat.3
3Akhmadsudrajat.wordpress.com,
yang diakses pada 5 Juni 2011
B. Pentingnya Pendidikan Karakter
Karakter yang kuat akan membentuk mental yang kuat.
Sedangkan mental yang kuat akan melahirkan spirit yang kuat, pantang menyerah,
berani mengurangi proses panjang, serta menerjang arus badai yang bergelombang
dan berbahaya. Karakter yang kuat merupakan prasarat untuk menjadi seorang
pemenang dalam medan kompetisi kuat seperti saat ini dan yang akan datang, yang
terkenal dengan era hiperkompetitif. Bagi seseorang yang berkarakter lemah
tidak aka nada peluang untuk menjadi pemenang, ia hanya akan menjadi pecundang,
sampah masyarakat, teralienasi, dan termarginalkan dalam proses kompetisi yang
ketat. Sebab ia mudah menyerah, tidak mempunyai prinsip, pragmatis, dan
oportunis, serta tidak mempunyai keberanian untuk menerjang gelombang ombak dan
badai yang dasyat. Ia penakut, langkahnya ceroboh, dan pergerakannya mudah
dibaca olehorang lain. Oleh sebab itu pendidikan karakter menjadi keniscayaan
bagi bangsa ini untuk membangun mental pemenang bagi generasi bangsa dan masa
yang akan datang.
Martin E.P. Seligman dalam Larned Optimism,
menunjukan hasil eksperimen mengenai pengaruh optimism terhadap keberhasilan
seseorang dalam sebuah pekerjaan. Eksperimen tersebut bahkan membuktikan bahwa
orang-orang yang optimis namun pada tahap seleksi tidak memenuhi persyaratan
lulus dari segi profil kompetensi untuk pekerjaanya (career profil) kinerjanya
lebih tinggi dibanding mereka yang memiliki kompetensi tinggi namun tidak
optimis. Sifat optimis merupakan bagian dari karakter seseorang.4
Disinilah pentingnya karakter yang kuat itu. Jika
karakter bangsa ini lemah, maka bangsa Indonesia dijadikan bulan-bulanan
Negara-negara maju yang melek pengetahuan dan teknologi. Namun membuat
terobosan progresif dan melakukan akselerasi massif di segala bidang. Negara
ini akan semakin tertindas di dalam dan di luar negri, menjadi buruh di Negara
sendiri, yang akhirnya dijajah sumber daya alam dan manusianya secara
eksploitatif dan tidak manusiawi.
4Gede
Raka dkk, Pendidikan Karakter di Sekolah, dari Gagasan ke Tindakan (Jakarta ;
Elex Media Komputindo, 2002), hlm. 26 – 27.
Dengan melihat kenyataan itulah pendidikan karakter
sangat mendesak untuk diberlakukan di negeri ini. Caranya adalah dengan
mengoptimalkan peran sekolah sebagai pionir. Pihak sekolah harus bekrja sama dengan
keluarga, masyarakat, dan elemen bangsa yang lain demi suksesnya agenda besar
menanamkan karakter kuat pada peserta didik sebagai calon pemimpin bangsa
dimasa yang akan datang.
C.
Tahap
– Tahap Pendidikan Karakter
1. Tahap
Penanaman Adab (Umur 5 – 6 tahun)
Adap
atau tatakrama bisa dilihat dari tata cara seseorang dalam bertutur sapa,
berinteraksi, bersikap dan bersosialisasi. Saat inilah fase paling penting
menanamkan kejujuran, pendidikan keimanan (tauhid), serta menghormati orang
tua, teman sebaya, dan orang-orang yang lebih tua. Pada tahap ini pula anak
didik diajarkan tentang pentingnya proses, baik dalam belajar maupun mendapat
sesuatu. Sehingga mereka tidak lahir sebagai anak manja yang sangat berbahaya
bagi masa depan mereka.
Pendidikan
agama dalam fase ini sangat menentukan pertumbuhannya di masa depan. Pendidikan
agama bisa menjadi parameter dan filter dalam merespon segala hal yang baru
datang. Pendidikan agama juga menjadi pijakan dalam menentukan pilihan dan
membangun peradaban.5
2. Tahap
penanaman tanggung jawab (umur 7 – 8 tahun)
Tanggung
jawab merupakan perwujudan dari niat dan tekad untuk melakukan tugas yang
diemban.
Tanggung
jawab, menurut Arvan Pradiansyah, merupakan kata kunci dalam meraih kesuksesan.
Seorang yang mempunyai tanggung jawab akan mengeluarkan segala kemampuan
terbaiknya untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.6
5Banyak
kitab yang menjelaskan pentingnya moral ini, salah satunya adalah karya
Az-Zarnuji, Ta’limul Muta’alim (Surabaya : Al Hidayah, tanpa tahun). Juga,
kitab karya Moh. Hasyim Asy’ari, Adab Al – Alim wal muta’alim (Jombang – Al –
Ma’had as-Salafi Tebuireng, tanpa tahun)
6Arvan
Pradiansyah, You Are A Leader; Menjadi Pemimpin dengan Memanfaatkan
Potensi
Terbesar yang Anda Miliki (Bandung : Kaifa, 2010), hlm. Xxi.
3. Tahap
penanaman kepedulian (umur 9-10 tahun)
Kepedulian
adalah empati kepada orang lain yang diwujudkan dalam bentuk memberikan
pertolongan sesuai dengan kemampuan.
Kepedulian
ini sangat penting dalam rangka menumbuhkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan,
serta menjauhkan diri dari sifat sombong, egois dan individual.
Menurut
Sholikhin Abu Izzuddin, empati merupakan kemampuan dalam memahami, melayani dan
mengembangkan orang lain, serta mengatasi keragaman dan kesadaran politis.
Empati bukan sekedar simpati, empati merupakan aksi, bukan hanya belas kasihan.
Empati butuh bukti, bukan bualan pemanis komunikasi.7
4. Tahap
penanaman kemandirian (umur 11 – 12 tahun)
Dalam
kemandirian ada nilai kehormatan dan harga diri yang tidak bisa dinilai dengan
sesuatu apapun. Sebab apabila harga diri dan kehormatan seseorang tidak ada,
maka habislah dia. Menumbuhkan kemandirian pada anak didik bisa dilakukan
dengan melatih mereka bekerja dan menghargai waktu.
Dalam
kemandirian inilah terdapat nilai agung yang menjadi pangkal kesuksesan
seseorang. Seperti kegigihan dalam berproses, semangat tinggi, pantang
menyerah, kreatif, inovatif, dan produktif, serta keberanian dalam menghadapi
tantangan, optimis, dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi.7
5. Tahap
penanaman pentingnya bermasyarakat (umur 13 tahun ke atas)
Dalam
konteks pendidikan karakter, pola hidup masyarakat membutuhkan banyak tips
sukses. Salah satunya, anak harus diajari bergaul dan berteman dengan anak-anak
yang mempunyai karakter baik, seperti disiplin, menghargai waktu, kreatif,
moralis, investasi, dan mencintai pengetahuan.
7Bandingkan
dengan Jamal Ma’mur, Sekolah Entrepreneur; Mendesain, Menerapkan, dan Memproduk
Insan-Insan Edukatif Bermental Pecinta Kerja. Bukan Pencari Lapangan Kerja
(Yogyakarta, Harmoni, 2011)
Sholikhin
Abu Izzuddin, ketrampilan sosial merupakan asset sukses kepemimpinan dan
mempengaruhi orang lain (kemampuan menebar pengaruh, berkomunikasi, memimpin,
karalisator, perubahan mengelola knflik, mendaya gunakan jaringan, kolaborasi
dan kooperasi, serta kerja tim).8
Lima
tahap pendidikan karakter ini menjadi pondasi kokoh dalam menggali, melahirkan,
mengasah, serta mengembangkan bakat dan kemampuan unik anak didik. Hal ini
menjadi penting untuk menghadapi tantangan globalisasi yang dasyat dan spektakuler
sekarang ini.
D.
Prinsip
– Prinsip Pendidikan Karakter
1. Mempromosikan
nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
2. Memberikan
kesempatan pada peserta didik untuk menunjukan perilaku yang baik.
3. Adanya
pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif
pendidikan karakter.
4. Mengusahakan
tumbuhnya motivasi diri pada peserta didik.
5. Memfungsikan
keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter.
6. Menciptakan
komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.
7. Mengevaluasi
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru karakter, dan manifestasi
karakter positif dalam kehidupan peserta didik.9
8. Memfungsikan
seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang bertanggung jawab untuk
pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama.
8Solikhin Abu
Izzuddin, op. cit, hlm 54.
9Ibid